maandag 27 april 2009

MD Kartaprawira: PENYELENGGARA NEGARA INDONESIA TAK BERNYALI DALAM PENEGAKAN HAM

PENYELENGGARA NEGARA INDONESIA TAK BERNYALI DALAM PENEGAKAN HAM
(Kasus Fujimori - bahan kajian banding kasus pelanggaran HAM di Indonesia)

Oleh MD Kartaprawira*)

Pada tanggal 08 April 2009 Alberto Fujimori, mantan presiden Peru oleh Pengadilaan Lima (ibu kota Peru) dijatuhi hukuman 25 tahun penjara karena terbukti bersalah dan bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang terjadi di Peru pada tahun 1990-an yang menewaskan 25 orang (menurut Komisi Rekonsiliasi 40 orang), yaitu pembunuhan di suatu kawasan kota Lima pada tahun 1991, yang menewaskan 15 orang dan di Universitas La Cantuta pada tahun 1992 yang menewaskan seorang dosen serta 9 mahasiswa diculik dan dibunuh.

Seperti diketahui di akhir masa jabatannya sebagai presiden Peru Fujimori pulang ke Jepang sebagai usaha untuk menghindarkan diri dari masalah-masalah yuridis (korupsi dan pelanggaran HAM) yang menyangkut dirinya. Tapi karena dia merasa pendukungnya di Peru masih cukup kuat, dia berusaha kembali lagi ke panggung politik, maka dari itu dia pada bulan Nopember 2005 terbang ke Cili sebagai transit ke Peru untuk mencalonkan diri dalam pemilihan presiden. Ketika dia mendarat di Cili ditangkap oleh alat keamanan Cili, karena dianggap terlibat masalah pelanggaran HAM tahun 1960-an dan masalah korupsi. Atas permintaan pemerintah Peru cq. Menteri luar negeri Oscar Maurtua, Mahkamah Agung Cili menyetujui ekstradisi mantan presiden Peru Alberto Fujimori ke Peru. Seperti telah disinggung di atas akhirnya oleh Pengadilan Lima Fujimori dijatuhi hukuman 25 tahun penjara.

KASUS Fujimori tersebut sangat bermanfaat sebagai bahan kajian banding kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Bagaimana penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia? Sesungguhnya sudah berkali-kali oleh para peduli HAM didengung-dengungkan di media massa, seminar dan pertemuan-pertemuan lainnya tentang keharusan penguasa Indonesia menuntaskan masalah tersebut di atas. Wajarlah pada waktu kekuasaan Orde Baru/Suharto rakyat tidak mungkin bicara tentang pelanggaran HAM, apalagi melakukan tuntutan. Tidak hanya karena rejim tersebut tidak akan sukarela membiarkan dirinya diadili, tetapi juga karena rejim “tukang gebuk” tersebut akan melibas siapa saja yang menentangnya.

Tetapi yang sangat mencengangkan dan tidak masuk akal sehat adalah ketidak berdayaan penyelenggara negara (cq. Pemerintah) di era “reformasi” menangani pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama yang berkaitan dengan peristiwa 1965. Tidak ada satu pun penguasa yang terbuka hatinuraninya untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat masa lalu. Pada hal sudah banyak konvensi internasional dan hukum internasional lainnya yang diratifikasi oleh Indonesia sehingga menjadi bagian dari perundang-undangan Indonesia, sudah dibuat UU Hak Asasi Manusia, UU Pengadilan HAM ad Hoc, bahkan di dalam UUD 1945 (Amandemen) sudah dimuat banyak pasal mengenai hak asasi manusia. Di samping itu juga sudah dibentuk suatu institusi KOMNASHAM, yang praktis hanya sebagai alat pembantu formal dalam menangani masalah HAM. Meskipun demikian kasus pelanggaran HAM berat berkaitan peristiwa 1965 sama sekali macet total. Bahkan ada dugaan bahwa memang ada pihak-pihak yang sengaja memacetkan, yang dapat ditebak siapa yang menjadi factor pemacet tersebut. Kalau KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) diberi wewenang yang sangat kuat dalam pemberantasan korupsi, mengapa KOMNASHAM hanya diberi wewenang yang kecil sekali, hampir-hampir tidak ada arti dan gunanya, hanya sebagai institusi “pajangan” saja. Kalau kejaksaan dan kepolisian tidak diaktifkan menangani masalah pelanggaran HAM, seharusnya KOMNASHAM diberi wewenang yang besar (seperti wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi) sehingga bisa melakukan investigasi yang hasilnya bisa dijadikan alat bukti di dalam proses pengadilan HAM.

Proses pengadilan di Peru pun tidak begitu mulus, juga ada pro dan kontra. Tetapi akhirnya proses pengadilan kota Lima pada 08 April 2009 yang lalu berhasil menjatuhkan vonis 25 tahun penjara terhadap Fujimori. Jumlah korban pelanggaran HAM kasus Fujimori yang hanya 25 orang (Komisi Rekonsiliasi menyebut 40 orang) adalah tidak sebanding dengan korban pelanggaran HAM berkaitan peristiwa 1965 yang jutaan orang. Ternyata sedikit atau banyaknya jumlah korban tidak menjadi penghalang terlaksananya proses pengadilan dan penegakan keadilan. Semuanya tergantung pada kepedulian dan kemauan politik penyelenggara negara (terutama Presiden dan DPR).
Korban pelanggaran HAM di era Orde Baru, di mana jutaan orang dibantai, ribuan orang dibuang ke pulau Buru dan dijebloskan di berbagai penjara bertahun-tahun lamanya, ribuan orang diculik, dihilangkan secara paksa dan lain-lainnya, sampai sekarang sepertinya dianggap tidak ada apa-apa. Inilah kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi tentang praktek penggelapan keadilan di Indonesia yang jelas bertentangan dengan UUD 1945, Pancasila dan kaidah hukum HAM nasional maupun internasional.
Oleh karenanya tepatlah suatu pertanyaan: mengapa di Indonesia kasus pelanggaran HAM berat 1965 yang sudah berjalan 40 tahun tidak mendapat penanganan sama sekali? Apakah penegak hukum di era reformasi sama sekali kehilangan rasa kemanusiaan dan keadilan?

Adalah suatu kenyataan bahwa keadilan di Republik Peru bisa ditegakkan setelah kejaksaan berhasil menghadapkan Fujimori ke pengadilan dan mendapatkan vonis 25 tahun penjara tanpa bantuan dari PBB seperti halnya kasus pelanggaran HAM di Yugoslavia dan Rwanda. Di sinilah bedanya penegakan keadilan di Peru dan Indonesia dalam masalah HAM. Boleh terus terang dan terbuka mengatakan bahwa penyelenggara negara Indonesia tidak/belum berbuat apa-apa untuk menegakkan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berkaitan peristiwa 1965. Justru tampak proses pengadilan dibendung rapat-rapat dengan akibat terus dipeliharaanya impunity berlaku di Indonesia. Dan hal itu tercermin di dalam UU KKR yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena cacat hukum, di mana merupakan kompromi antara dua titik pandang “pro dan kontra” impunity.

Pengalaman di Peru menunjukkan bahwa penegakan HAM tergantung kepada kemauan politik penyelenggara negara bersangkutan dalam komitmennya menegakkan keadilan dan ketegasan pelaksanaan hukum nasional di Peru sendiri, bahkan bukan internasional. Tanpa merendahkan peranan hukum internasional, kenyataannya hukum internasional tidak akan berlaku di sesuatu negara kalau tidak diratifikasi lebih dulu berdasarkan system hukum di negara bersangkutan. Dewasa ini sudah banyak hukum HAM internasional yang diratifikasi oleh parlemen Indonesia, tapi kenyataannya pelaksanaannya dalam praktek kehidupan masih saja tidak berjalan.

Penegak hukum di Indonesia, terutama Kejaksaan Agung dan jajarannya seharusnyalah memegang peranan kunci dalam penegakkan keadilan dan hukum berkaitan masalah-masalah HAM. Tapi kenyataannya macet total, tidak berpotensi. Masalah-masalah HAM yang sesungguhnya derajat kwalitasnya lebih serius dibandingkan dengan kejahatan biasa malah diterbengkelaikan tanpa penanganan. Sebaliknya penyelenggara negara malah mempersulit dengan prosedur berbelit-belit melibatkan KOMNASHAM (yang wewenangnya sangat terbatas) dan DPR.

Keputusan pengadilan Lima dalam kasus Fujimori patut diacungi jempol sebagai keberhasilan usaha-usaha penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Peru, yang di Indonesia masalah-masalah tersebut belum pernah dituntaskan oleh penyelenggara negara (cq. Pemerintah atas nama negara), kapan pun dan siapa pun.
Seperti diketahui presiden Peru Alejandro Toledo, setelah terpilih jadi presiden tahun 2001 segera melakukan langkah-langkah penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang dilakukan penguasa sebelumnya (Fujimori), yaitu pertama-tama meminta maaf kepada para korban dan sanak keluarganya. Dalam pesan yang disiarkan ke seluruh negeri, Toledo menegaskan bahwa kebijakannya tersebut dilakukan atas nama negara dan ditujukan kepada para korban dan sanak-keluarganya, baik yang mati mau pun yang hilang, dan ribuan lainnya yang disiksa atau kehilangan tempat tinggalnya.
Dan hal tersebut juga merupakan keberhasilan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk pada tahun 2001 oleh pemerintahan Toledo untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pasukan keamanan Peru maupun gerilyawan Jalur Bersinar.

Ketika rejim Orba/Suharto masih berkuasa, tentu saja para korban tidak mungkin bermimpi akan adanya pengakuan pelanggaran HAM berat dan dengan demikian permintaan maaf olehnya kepada para korban dan sanak keluarganya. Tapi kini sudah berjalan 10 tahun era “reformasi”, toh penyelenggara negara tidak ada yang secara jantan dan transparant menegakkan kebenaran atas terjadinya pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh penguasa sebelumnya dan oleh karenanya atas nama negara meminta maaf kepada para korban beserta keluarganya. Hanya presiden Adurrachman Wachidlah satu-satunya yang mengucapkan minta maaf, meskipun tidak jelas atas nama siapa: atas nama negara, atas nama presiden, atas nama NU (sebab pembunuhan di Jawa Timur melibatkan Pemuda Ansor), atas nama pribadi? Tidak jelas! Kalau atas nama Presiden atau atas nama Negara haruslah dengan prosedur resmi/formal, legal dan transparant.

Di Indonesia jelas awan tebal masih belum bergeser sehingga memberi cahaya terang bagi penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama yang berkaitan dengan peristiwa 1965.

Nederland, 27 April 2009

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965, Nederland
mdkartaprawira@gmail.com
lbgpk65@yahoo.ca
http://lembagapembelakorban65,blogspot.com

Geen opmerkingen:

Een reactie posten