donderdag 19 maart 2009

MD Kartaprawira: ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN U.U. KEWARGANEGARAAN RI 2006 (3): BERHADAPAN STATEMENT LPK'65 (27.04 2007)


ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN U.U. KEWARGANEGARAAN RI 2006 (3): BERHADAPAN STATEMENT LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65 ( 27 April 2007)
Oleh MD Kartaprawira*)


Agar kita mendapat gambaran jelas garis posisi Lembaga Pembela Korban 1965 terhadap UU Kewarganegaraan RI 2006, yang pada tanggal 19 September 2008 disosialisasikan oleh Andi Mattaalata di KBRI Den Haag, perlu saya tayangkan ulang press releases "Statement Lembaga Pembela Korban '65 Tentang Kebijakan Pemerintah Indonesia Sehubungan dengan UU Kewarganegaraan RI/2006 Terhadap WNI-Korban Pelanggaran HAM Orde Baru di Luar Negeri", tertanggal 27 April 2007 di Zeist (Nederland).

Dengan Statement tersebut diharapkan kita semua, baik OTP (Orang Terhalang Pulang) maupun bukan OTP, bisa mencermati apa yang tersurat dan tersirat di dalam UU Kewarganegaraan RI 2006.

Bagi para OTP jelas, bahwa selama dua posisi politik para korban dan pelaku pelanggaran HAM berat 1965 belum bisa ketemu, selama itu pula banyak masalah tidak dapat diselesaikan, antara lain mengenai UU Kewarganegaraan RI 2006.

Posisi pelaku pelanggaran HAM 1965 yang masih mau menyembunyikan tindak kejahatannya terhadap WNI di luar negeri yang dengan sewenang-wenang dicabuti paspornya (OTP) nampak jelas dengan tidak disinggungnya sepatah kata pun yang berkaitan dengan pelanggaran HAM di dalam UU Kewarganegaraan RI 2006.

Maka tidak mengherankan bahwa pertemuan sosialisasi UU Kewarganegaraan RI Tahun 2006 oleh menteri hukum dan HAM Andi Mattalata di Den Haag, yang dari orang tergolong OTP hanya hadir 2 (dua) orang saja.

Den Haag, 26 September 2008

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban '65 (LPK65), Nederlan
http://lbgpk65.blogspot.com/
Press Releases
STATEMENT LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65
TentangKEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN UU KEWARGANEGARAAN RI/2006TERHADAP WNI-KORBAN PELANGGARAN HAM ORDE BARU DI LUAR NEGERI
Lembaga Pembela Korban '65 (LPK'65) sesuai visi dan misinya akan terus memperjuangkan kepentingan korban peristiwa 1965 di dalam dan di luar negeri. Yang dimaksud korban peristiwa 1965 di luar negeri, yaitu para warganegara Indonesia yang ketika meletus peristiwa G30S sedang menjalankan tugasnya di luar negeri (sebagai mahasiswa, pejabat, wartawan, anggota delegasi di forum internasional) dicabut paspornya secara sewenang-wenang oleh penguasa Orde Baru/penguasa Negara saat itu.


Bahwasanya mereka berposisi loyal dan mendukung pemerintah Soekarno sebagai pemerintahan sah saat itu, tidaklah bisa dijadikan dasar pembenaran untuk melakukan repressi kepada mereka dengan pencabutan paspor. Akibatnya mereka selama 32 tahun mendapatkan banyak kesulitan dan tidak bisa pulang ke tanah air, terpisah dengan sanak keluarganya, menjadi apa yang dinamakan "orang terhalang pulang" (selanjutnya: OTP). Tindakan penguasa Orde Baru yang demikian itu menunjukkan identitas sebagai penguasa diktator yang melanggar hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi.

Dengan dikeluarkannya UU Kewarganegaraan RI Tahun 2006 pemerintah RI menunjukkan suatu langkah penyelesaian masalah para OTP, di samping masalah orang-orang yang kehilangan kewarganegaraan lainnya yang tidak ada hubungannya dengan peristiwa 65. Bagi para OTP kebijakan pemerintah tertuang dalam UU Kewarganegaraan tersebut dirasakan tidak memenuhi tuntutan keadilan dan tidak manusiawi. Sedang janji Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin di Helsinki (11.09.2006) akan bertemu dengan para OTP di Amsterdam dan Paris, yang mungkin bisa membuka jalan dialog positif, ternyata sampai detik ini tidak kunjung kabar beritanya.
Menyikapi kebijakan pemerintah SBY-Kalla cq. Menteri Hukum dan HAM berkaitan dengan pemulihan kembali kewarganegaraan RI kepada mantan WNI (para OTP) tersebut di atas, Lembaga Pembela Korban'65 menyatakan:

Tindakan pencabutan paspor oleh Penguasa Orde Baru/penguasa Negara pada saat itu terhadap WNI tersebut di atas adalah tindakan politis yang melanggar hukum dan HAM. Penyelesaian masalah tersebut yang dilakukan pemerintah dewasa ini melalui UU Kewarganegaraan RI/2006 adalah suatu kebijakan bersifat administratif: tidak dapat dibenarkan, tidak adil dan tidak manusiawi. Penyelesaian masalah para OTP seharusnya tidak hanya sebatas pengembalian paspor belaka, tetapi harus mencakup semua aspek-aspek keadilan dan HAM yang telah dilanggar penguasa Orba.


Maka kalau pemerintah SBY-Kalla berkehendak melakukan kebijakan rekonsiliatif untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM bagi para OTP, pemerintah harus melakukan kebijakan berdasarkan keputusan politik pula dengan mematuhi prinsip penegakan Kebenaran dan Keadilan. Sesuai prinsip Kebenaran pemerintah atas nama negara harus mengakui dengan tegas bahwa negara telah melakukan pelanggaran HAM terhadap para warganegaranya tersebut di atas. Dan oleh karenanya pemerintah atas nama negara harus dengan tulus ikhlas meminta maaf kepada para OTP.


Selanjutnya sesuai prinsip Keadilan pemerintah harus mengembalikan sepenuhnya hak-hak politik dan sosial ekonominya, termasuk hak mendapatkan kewarganegaraannya kembali. Hal itu adalah prinsip-prinsip dasar yang harus menjadi landasan kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia khususnya dan penyelenggara negara pada umumnya dalam menyelesaikan masalah-masalah warganegara RI di luar negeri yang karena peristiwa 1965 terhalang pulang dan/atau dicabut paspornya oleh penguasa Negara/Pemerintah Orde Baru.


Pemulihan kembali kewarganegaraan RI haruslah dipandang hanya sebagai salah satu konsekwensi penegakan Kebenaran dan Keadilan, di samping konsekwensi-konsekwensi lainnya: pemulihan penuh hak-hak politik dan sipil, rehabilitasi penuh, jaminan keamanan-sosial-ekonomi dan tindak non-diskriminatif.
Kebijakan pemerintah tanpa penegakan Kebenaran dan Keadilan adalah identik dengan pengingkaran pelanggaran HAM yang telah menyengsarakan warganegaranya sehingga tidak bisa kembali ketanah air untuk menunaikan pengabdiannya kepada nusa dan bangsa, kehilangan karier, terpisah dengan sanak keluarga di tanah air selama tiga dasa warsa, dan lain-lainnya.


Sedang kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.01.HL.03.01 Tahun 2006 tentang "Pernyataan Kesetiaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia", di mana pernyataan kesetiaan tersebut merupakan persayaratan untuk mendapatkan kewarganegaraan kembali bagi mereka yang dicabut paspornya tsb. di atas, adalah tidak tepat dan dirasakan sebagai penghinaan yang mendalam. Sebab mereka tersebut bukan kaum separatis dan pemberontak terhadap NKRI, melainkan patriot yang cinta dan membela tanah air Indonesia, UUD'45 dan Pancasila. Persyaratan pernyataan setia kepada NKRI hanya patut diberlakukan kepada kaum separatis dan pemberontak yang kembali kepangkuan NKRI.


Di samping itu perlu ditekankan, bahwa LPK'65 tidak mempunyai hak untuk menghalang-halangi mereka yang berposisi lain demi mendapatkan kembali kewarganegaraan RI sesuai ketentuan-ketentuan UU Kewarganegaraan RI Tahun 2006 dan peraturan-peraturan organiknya. Hak asasi mereka kami hormati sepenuhnya.
LPK'65 beranggapan bahwa Pemerintah dan Penyelenggara Negara lainnya diharapkan masih bisa dan punya kesempatan untuk merubah kebijakan-kebijakan negatif tersebut diatas demi tegaknya kebenaran dan keadilan yang dijunjung tinggi dalam UUD 45 dan Pancasila. Sedang kepada semua lembaga/organisasi peduli HAM diharapkan dukungannya dan kerjasamanya dalam perjuangan menegakkan hukum dan HAM di Indonesia.

Zeist/Nederland, tgl. 27 April 2007

LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65
MD Kartaprawira (Ketua Umum), Suranto (Sekretaris I)
Posted by LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65 at 3:09 PM 0 comments
http://lbgpk65.blogspot.com/

Geen opmerkingen:

Een reactie posten